Pada waktu Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi keilmuan yang ada di samudera Samudera Pasai tetap berlanjut. Samudera pasai terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara. pada waktu kerajaan Malaka telah masuk islam, Pusat studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh Samudera Pasai, tetapi Malaka juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Dengan majunya pereknomian di Kerjaan malaka, telah mengundang banyak ulama dari mancanegara untuk berpartisipasi lebih intensif dalam proses pendidikan dan pembelajan agama Islam. Karena kerjaan memberikan perhatian yang tinggi terhdap pendidikan Islam, maka banyak ulama dari mancanegara yang datang ke Malaka seperti Afganistan, Malabar, Hindustan, dan Arab.
Dengan banyaknya ulama besar dari berbagai negara yang mengajar di Malaka tersebut telah menarik para penuntut ilmu dari berbagai kerjaan islam di Asia Tenggara untuk datang ke Malaka. Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu di Malaka. Setelah pulang dari malaka mereka kembali ke Jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam.
Jaringan Keilmuan Islam di Nusantara
Untuk mengintensikan proses Islamisasi, para ulama mengara, menyadur dan menjerjemahkan karya-karya keilmuan Islam. Salah satu raja yang sangat memperhatikan pengembangan pendidikan dan pengajran agama Islam adalah Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda menidirikan Masjid Raya Baiturrohman dan memanggil Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani sebagai penasihat.
Ulama dari Kesultanan Gowa, Sulawesi Selatan (Syekh Yusuf al-Makassari) pernah menuntut ilmu di Nanggroe Aceh Darussalam. Melalui pengajaran Syekh Abdu Rauf as-Singkil telah muncul ulama di Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan (terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau) dan Syekh Abdul Muhyi al-Garuti (pamijahan) yang telah berjasa menyebarkan agama Islam di Jawa Barat.
Selain di Banten, Istana di Palembang juga difungsikan sebagai pusat sastra dan ilmu Agama. Sultan-sultan di Palembang banyak ang mendorong perkembangan Intelektual kegamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baharuddin (1774-1804). Pada masa pemerintahan kedua sultan tersebut muncul banyak ilmuan asal Palembang yang produktif menghasilkan karya-karya ilmiah kegamaan seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu tasawuf, tarekat dan tarikh. Perhatian sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam terlihat apda keberadaan perpustakaan keraton yang memiliki koleksi yang cukup lengkap dan rapi.
Dengan berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara. Dua hal yang mempercepat proses tersebut adalah pengguna aksara arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Ilmu-ilmu yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara di tulis dalam aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab tersebut disebut dengan banyak sebutan, seperti di Melayu disebut huruf Jawi dan di Jawa Barat disebut dengan huruf Pegon.
Dengan berkembangnya pendidikan Islam di istana-istana menjadi pendorong munculnya pendidikan dan pengajaran di Masyrakat. Setelah terbentuk berbagai ulama hasil didikan dari Istana, maka murid-muridnya melakukan pendidikan ke tingkatan yang lebih luas/tinggi dengan dilangsungkannya pendidikan di rumah-rumah ulama untuk masyrakat umum, Khususnya sebagai tempat pendidikan dasar layaknya Kuttab (lembaga pendidikan dasar di Arab sejak masa Kanjeng Rosululloh SAW). di Arab. Sebagaimana Kuttab yang biasa mengambil tempat di rumah-rumah ulama, pendidikan dasar di Nusantara berlangsung di rumah-rumah guru. Pelajaran yang diberikan adalah membaca al-Qur'an, menghafal ayat-ayat pendek, belajar sholat 5 waktu dan belajar tentang agama Islam lainnya.